Senin, 09 September 2013

Uang dan Masyarakat, Tinjauan dari Perspektif Sosiologi

Uang dan Masyarakat,
Tinjauan dari Perspektif Sosiologi
Kastorius Sinaga  ;   Sosiolog UI dan Caleg DPR-RI Partai Demokrat Dapil DKI Jakarta II Nomor Urut 2, Jaksel, Jakpus, Luar Negeri
JARINGNEWS, 06 September 2013


“Masyarakat harus dicerdaskan untuk mengenali bentuk-bentuk dan pola praktik penipuan jasa keuangan secara terus-menerus.”

Nyaris hampir setiap hari, di berbagai koran metropolitan dan nasional, iklan 'jasa keuangan' semarak bertebaran menyolok perhatian kita. Iklan-iklan tersebut sangat menggoda. Ia juga sangat menggiurkan karena menawarkan kemudahan mendapatkan uang dengan syarat sangat minim. Juga tawaran bisnis imbal hasil dengan laba yang luar biasa besar yang disertai dengan  'janji-janji' dan trik untuk menjadi superkaya dalam tempo yang singkat'.

Saya petik sebuah iklan berikut:
“Grand Multi Finance, Sediakan Dana Tunai 1 milyar, 10 MENIT CAIR, Anda tinggal kirim sms, kami akan telpon balik. Tanpa Jaminan. Cukup dengan fotokopi KTP atau KK. Bila tidak ada KTP, cukup dengan mengirimkan foto wajah anda lewat ponsel anda di nomor berikut”.

Iklan  lain berbunyi:

"Anda memiliki masalah keuangan? Kami solusinya. Bunga 0,01 persen, Bebas Angsuran pertama, GRAND PRIZE UANG TUNAI 1 MILYAR untuk Pemenang 2 orang pertama. Buruan, persediaan terbatas”.

Iklan-iklan tersebut selalu menggoda masyarakat lengkap dengan paparan keunggulan. Keunggulan dimaksud, tentu, dibandingkan dengan praktik bank konvensional yang standar:Kredit Tanpa Survey (kelayakan peminjam), Bunga 0 sekian persen, Lunas Cepat Bunga Hilang (faktor bunga dan cara cicilan), Imbal hasil tinggi (diatas 150 persen jauh diatas bunga deposito), cukup dengan KTP /KK (nyaris tanpa syarat administrasi).

Saat saya membaca iklan-iklan menyolok tersebut dan juga pesan SMS iklan yang sama yang hampir setiap menit saya terima lewat SMS di ponsel saya, saya teringat kejadian ketika saya, selaku Penasehat Ahli Kapolri, ditugaskan Kapolri untuk memantau jalannya penyidikan tersangka kejahatan keuangan yang sedang digelar di Direktorat 3 Bareskrim (Kejahatan Perbankan, Asuransi dan Pajak) Mabes Polri tahun 2009 yang lalu. Kejahatan keuangan tersebut dilakukan oleh sebuah lembaga sekuritas dan mengaku sebagai lembaga jasa keuangan. Saat itu tersangka sudah kabur ke luar negeri dengan hasil taksiran kerugian dana masyarakat hingga Rp 2,1 triliun.

Dari proses penyidikan tersebut, saya melihat konstruksi kejahatan 'peni[uan' dan penggelapan yang dilakukan berlangsung secara sederhana. Tersangka  yang pernah mengikuti pelatihan tentang akuntansi multi-level-finance, bermodal perusahaan berskala kecil (CV), dengan menyalah-gunakan ijin usaha, menyerap dana masyarakat lewat skema piramida ponzi. Kita tahu, skema piramida ponzi adalah modus penipuan yang lazim dipakai di balik kegiatan simpan pinjam di sektor jasa keuangan yang bermodalkan perputaran dana nasabah dengan seistem multilevel marketing.. Ia mampu meraup Rp 2,1 triliun dana masyarakat kecil dari para pedagang, karyawan kecil, ibu rumah tangga dan sebagainya selama berpraktik kurang dari lima tahun hanya dengan janji kosong dengan 'show effect' ke  segelintir nasabahnya yang juga dipakai sebagai agen pemasarannya.

Ketika piramida ponzi itu ambruk dan tak mampu lagi memenuhi kewajiban ke nasabah, tersangka sudah duluan kabur ke Hong Kong dengan membawa lari dananya. Lewat Interpol, ia tertangkap di sebuah meja judi kasino di Macau. Dana triliunan tersebut berhasil dikumpulkan dari masyarakat kecil yang terbius dengan imbal hasil tinggi dan bujuk rayu tim marketing yang terlatih. Marketing tersebut memakai modus rekrutmen nasabah lewat jalur hubungan sanak keluarga atau kerabat korban.

Kasus serupa sering dan berulang kali terjadi hingga sekarang. Iklan-iklan yang saya sebut diatas masih terus menghiasi surat kabar kita setiap hari. Praktik ini menjebak bukan hanya orang miskin yang tak berpendidikan formal. Tetapi juga kalangan menengah hingga ke atas, seperti terjadi pada kasus Karangasem Bali yang nasabahnya banyak PNS dan bahkan anggota TNI/Polisi di Bali, kasus Antaboga Securitas yang nasabahnya kaum pengusaha papan atas, kasus Sarijaya dan kasus Dresdel yang korbannya justru para jetset kaya, kalangan profesional, istri anggota DPR di Senayan dan bahkan bintang artis sinetron kondang. Kasus Dresdel, misalnya, memiliki jejaring organisasi hingga ke manca negara dan berpusat di sebuah kota kecil di Amerika Serikat.

Maraknya praktik penipuan jasa keuangan, skema investasi bodong, skema tabungan emas bodong, kerja sama usaha imbal hasil fiktif dan sebagainya, juga besarnya jumlah kerugian serta banyaknya korban yang tertipu tanpa mengenal kelas sosial, pendidikan dan latar belakang profesi tersebut merupakan fakta sosiologis yang menarik untuk menelusuri 'makna uang' di masyarakat. Tinjauan sosiologis fenomena 'uang' di masyarakat menjadi relevan didiskusikan untuk melengkapi tinjauan para ekonom yang semata-mata melihat 'uang secara teknis' hanya sebagai alat tukar, alat pengukur nilai dan bahkan instrumen statistik untuk mengukur PDB, perdagangan dan kinerja ekonomi negara dan bangsa.

Uang sebagai 'fenomena sosial' kurang mendapat perhatian oleh kalangan ekonom dan kaum teknokrat meskipun perilaku (deviasi) sosial, relasi sosial politik, pembentukan kelas sosial (class formation) serta proses konstruksi dan dekonstruksi tatanan sosial sebenarnya sangat berhubungan erat dengan eksistensi 'uang' di masyarakat.

Konsep uang sebagai alat tukar muncul sebagai jawaban atas akibat dari ketidakpastian sistem barter barang/benda (in natura). Uang didefinisikan lewat fungsi utamanya sebagai alat pertukaran barang dan jasa yang memudahkan manusia dan masyarakat di dalam memenuhi kebutuhannya dan keinginannnya. Disamping itu, uang juga diakui karena memiliki fungsi derivatifnya, sebagai ukuran nilai atau juga sebagai ukuran 'penyimpan nilai'. Aset suatu sumberdaya dan korporasi selalu dinilai lewat uang. Ada nilai sekarang (present value) dan ada juga nilai masa depan (future value) sehingga perdagangan nilai masa depan (futures trading)menjadi lumrah dalam kehidupan modern sekarang. Dalam konteks ini, istilah inflasi atau deflasi misalnya, dipakai untuk mengukur nilai mata uang tersebut. Dalam tataran ini uang masih bermakna instrumen rasional.

Sejak jaman era merkantilisme, masa industrialisasi dan era modernisme seperti sekarang makna instrumental uang tersebut semakin berkembang secara kompleks. Sebagai fungsi alat tukar dan ukuran kandung nilai, bentuk-bentuk uang kertas makin beragam mulai uang plastik (kartu kredit), kartu debet, asuransi, travel check (cek pelawat) hingga pada bilyet giro dan sebagainya. Uang tidak lagi hanya sekadar eksis dalam fungsi alat tukar tetapi juga menjadi sebuah simbol yang dikultuskan dan menjadi 'kekuatan sosial yang otonom'.

Dari sekadar 'alat' (alat tukar), uang berubah menjadi 'tujuan' yang mewujudkan simbol status dan dominasi orang atau korporasi dalam relasi sosial dan politik.  Dari titik inilah uang muncul sebagai fenomena sosial tentang substansi dan simbol nilai dan kekayaan, kekuasaan, dominasi hingga hegemoni. Berbagai variabel non-rasionalitas dari uang muncul dalam bentuk patologi sosial berupa kejahatan, penipuan, konflik, penindasan, korupsi, money-politics, yang kemudian dalam banyak hal berhubungan langsung dangan kemiskinan, penggangguran, pembodohan dan eksploitasi.

Nilai-nilai masyarakat semakin redup digantikan dengan uang yang telah berubah dari sekadar alat pertukaran menjadi tujuan hidup yang menyengsarakan. Orang tidak lagi eksis (ada) karena dia berpikir, bekerja dan menggagas nilai luhur. Tetapi ada karena kepemilikan uang. Dalam pemilu misalnya, uang menjadi pusat penyimpangan dengan munculnya praktik money politicslewat jargon 'Serangan Fajar' atau 'Ada Dana Ada Suara'. Dalam situasi ini, baik pemilih maupun kandidat secara tidak sadar menjerumuskan diri bersama-sama ke dalam spiral penipuan dan dekadensi moral dan hati nurani.

Semua kecenderungan ini diperparah dengan arus konsumerisme serta munculnya simbol-simbol status baru yang bersifat materialistik dimana 'uang' secara patologis telah berubah menjadi alat komunikasi. Hal ini sangat nyata pada teori komunikasi terkunci dimana perilaku korupsi berjamaah/kolektif khususnya di kalangan politisi terjadi secara kolektif dengan mengunci simpul-simpul komunikasi dengan alata komunikasi utama yaitu 'uang'.

Dari fungsinya yang sederhana, secara sosiologis, uang telah menjadi pusat episentrum sekaligus sumber dan tujuan segala bentuk 'penipuan' dan 'kejahatan'. Namunpun demikian, kita tidak bisa mengkambing-hitamkan uang sebagai asal muasal dari seluruh penyimpangan sosial. Hal yang harus kita soroti adalah sektor bisnis jasa keuangan berikut pengawasan dan penegakan hukum di dalamnya.

Siapa yang harus melindungi masyarakat dari semua praktik penipuan dan pengurasan dana masyarakat akibat tendensi dominasi uang di tengah-tengah kehidupan masyarakat? Bila hal ini tidak dijawab maka masalah-masalah dasar bersifat fundamental akan muncul di masyarakat berupa hilangnya kepercayan sosial di masyarakat, melanggengnya ketidakadilan, kemiskinan serta berlakunya hukum rimba darwinisme yaitu the survival of the fittest (siapa yang kuat dia yang akan bertahan).

Untuk mencegah hal tersebut di atas, saya menyarankan solusi sebagai berikut:

Pertama, OJK harus memaksimalkan fungsi konstitusinya dan tidak hanya mengawasi sektor perbankan tetapi juga mengawasi dan menindak penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan secara kasat mata oleh bisnis jasa keuangan non bank yang berseliweran di kampung-kampung kumuh.
Kedua, masyarakat harus dicerdaskan untuk mengenali bentuk-bentuk dan pola praktik penipuan jasa keuangan secara terus-menerus sembari memperkuat dan memperlebar akses keuangan bagi individu masyarakat agar mereka dapat mengembangkan usaha ekonominya.
Ketiga, memerangi semua praktik money-politics (politik uang) di dalam kehidupan politik kita, khususnya dalam proses pemilu, karena hal ini akan melanggengkan makna 'uang' sebagai alat, sumber dan tujuan pelanggaran, kejahatan dan penipuan yang bertali-temali ke dalam penurunan kualitas kehidupan politik kita.

Keempat, bersama masyarakat, tokoh masyarakat secara bahu membahu berjuang terus menerus dan dengan sabar menegakkan integritas politik dengan cara menjunjung tinggi cara-cara dan proses politik yang jujur, bersih dan berkualitas sehingga praktik korupsi di dalam kehidupan politik kita dapat terkisis secara efektif. ●  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar